TEMPO.CO, Jakarta - Badan PBB untuk Perburuhan Dunia (ILO) melaporkan bahwa sekitar 50 juta orang di seluruh dunia terjebak dalam perbudakan modern berupa kerja paksa atau pernikahan paksa. Dalam laporan yang dirilis pada Senin malam, ILO menyebut jumlah ini membengkak hingga 20 persen dalam beberapa tahun terakhir.
ILO mengatakan studi oleh badan-badan PBB untuk tenaga kerja dan migrasi bersama dengan Walk Free Foundation menemukan bahwa pada akhir tahun lalu, lebih dari setengah dari mereka telah dipaksa bekerja di luar kemauan mereka. Sementara sisanya dipaksa menikah.
“Itu berarti hampir satu dari setiap 150 orang di dunia terperangkap dalam bentuk perbudakan modern,” demikian kata laporan itu.
Laporan itu menegaskan keduanya berada di bawah definisi perbudakan modern karena melibatkan orang-orang yang tidak dapat menolak atau tidak dapat pergi karena ancaman, kekerasan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau bentuk paksaan lainnya.
PBB memastikan akan memberantas semua bentuk perbudakan modern pada 2030. Namun, jumlah orang yang terjebak dalam kerja paksa atau pernikahan paksa justru membengkak sebesar 10 juta antara 2016 dan 2021, menurut sebuah laporan baru.
Situasi telah diperburuk oleh pandemi COVID-19, yang memperburuk kondisi dan membengkaknya tingkat utang bagi banyak pekerja. Selain itu konflik bersenjata dan perubahan iklim, membuat orang dalam kemiskinan ekstrem. Hal ini memaksa lebih banyak orang untuk bermigrasi, kata badan tersebut.
“Saya pikir, pada umumnya, kami mengendurkan upaya kami. Kami telah mengalihkan perhatian dari pekerjaan paksa,” kata Direktur Jenderal ILO Guy Ryder kepada kantor berita Reuters, sambil menyerukan perbaikan dalam praktik perekrutan dan pengawasan ketenagakerjaan.
Dia mengatakan langkah-langkah perdagangan, seperti larangan impor produk yang dibuat dengan kerja paksa dan sedang ditinjau oleh Uni Eropa, juga dapat membantu.
Perbudakan modern pada dasarnya hadir di setiap negara, dengan lebih dari setengah kasus kerja paksa dan seperempat dari pernikahan paksa di negara-negara berpenghasilan menengah ke atas atau berpenghasilan tinggi.
"Adalah kesalahan untuk percaya bahwa kerja paksa adalah semata-mata masalah negara-negara miskin," ujar Ryder.